BANDAR LAMPUNG, duajurai.co – Sejumlah anak korban penggusuran Pasar Griya tidak masuk sekolah sekitar dua minggu. Mereka ikut dengan orang tua sejak tempat berteduh diratakan dengan tanah.
“Kalau sekolah di Waykanan. Di sana tinggal bersama nenek. Karena bapak kena gusur, jadi sementara ikut bapak. Sudah dua minggu tidak bersekolah,” kata Muhammad Asyraf Ali Husein Al-Khandalawi (12), bocah korban penggusuran kelas VI SD, di Kantor LBH Bandar Lampung, Selasa, 31/7/2018.
Demikian pula dengan Muhammad Habil (9). Adik Asyraf yang duduk di kelas III sekolah dasar itu juga tak sekolah sejak orangtuanya digusur. “Iya ikut ibu sama bapak di sini (Kantor LBH Bandar Lampung,” ujarnya.
Menurut Werli (32), orang tua Asyraf dan Habil, pihaknya belum sempat membawa buah hatinya ke Waykanan karena kondisi tak memungkinkan. Namun, keluarga telah minta izin ke sekolah. “Tapi, perihal ini (penggusuran) belum diceritakan kepada guru,” kata dia.
Penggusuran Pasar Griya di Kecamatan Sukarame berlangsung secara bertahap. Pertama, Pemkot Bandar Lampung meratakan bangunan-bangunan pada 21 Juli lalu. Namun, hampir 40 kepala keluarga (KK) masih bertahan di sana. Pemkot menggusur kembali hingga tak ada tersisa bangunan, kecuali musala, pada 24 Juli. Warga pun bergeming.
Pemkot melalui Satuan Polisi Pamong Praja meminta warga segera mengosongkan lahan, 26 Juli. Malam harinya, warga didampingi LBH Bandar Lampung dan sejumlah aktivis mahasiswa mendirikan tenda di depan Rumah Dinas Wali Kota Bandar Lampung Herman HN.
Beberapa jam kemudian mereka diusir karena dianggap membuat kekumuhan. Sejak itu, para korban menumpang di kantor LBH Bandar Lampung. Mereka bertahan hidup dari belas kasihan orang.(*)
Baca juga Siapkan 9 Kamar, Pengelola Rusun Beri Tenggat 3 Bulan Bagi Korban Penggusuran
Laporan M Renaldy