

Dr ADMI SYARIF | Dosen Universitas Lampung | Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi Lampung
DALAM beberapa pekan terakhir, kita dipertotonkan berbagai argumentasi antara dua “gajah”, pemimpin daerah di Sai Bumi Ruwa Jurai terkait rencana pembangunan jalan layang atau flyover di kawasan simpang Mall Boemi Kedaton (MBK), Bandar Lampung. Adalah Wali Kota Herman HN yang memang dalam tiga tahun belakangan membangun lima flyover untuk mengatasi kemacetan di Kota Tapis Berseri.
Kali ini rencana untuk membangun flyover keenam belum berjalan mulus. Gubernur Lampung M Ridho Ficardo dengan argumentasi anggaran dan perizinan, punya pemikiran yang lain. Beberapa hari lalu bahkan saya membaca komentarnya di media bahwa lebih baik Wali Kota Herman HN mengurus pasar daripada membuat flyover.
Terlepas dari faktor politik karena keduanya akan mencalonkan diri sebagai gubernur untuk lima tahun mendatang, upaya memperbaiki sarana dan prasarana transportasi di Kota Bandat Lampung ini memang harus menjadi perhatian serius.
Saya menilai, kemacetan lalu lintas secara umum disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
- Bertambah volume kendaraan di jalan raya yang tidak terkendali dan buruknya manajemen lalu lintas
- Minimnya kapasitas jalan yang tersedia
- Adanya bottle next (leher botol) yang mengakibatkan tidak maksimalnya flow (aliran) kendaraan di jalan.
- Budaya organisasi masyarakat lokal yang kurang baik misalnya kepatuhan terhadap lalu lintas.
Tulisan ini akan memberikan masukan secara detail terkait kebijakan yang mungkin bisa menjadi solusi. Kebetulan saya menekuni bidang optimisasi dan memiliki pengalaman langsung melihat sistem transportasi di berbagai kota dunia seperti New York, Tokyo, London, Singapura, Seoul, Sydney, Singapura dan banyak kota lainnya. Tentunya, setiap kebijakan yang diambil memang harus berbasis riset yang komprehensif untuk mencari “pareto optimal solutian” yang terbaik.
Persoalan pertambahan kendaraan di Bandar Lampung yang tidak terkendali tampaknya juga terkait dengan budaya masyarakat lokal yang senang memiliki kendaraan sendiri. Penyediaan sarana transportasi umum yang layak seperti bus atau kereta misalnya, bisa dilakukan untuk menarik para pengguna jalan raya agar beralih dari kendaraan pribadi ke sarana transportasi umum.
Pemerintah juga bisa membuat kebijakan untuk membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Salah satunya membuat aturan yang membatasi mudahnya orang memperoleh kendaraan pribadi. Pemerintah dapat memberikan pajak yang lebih besar kepada orang yang memiliki kendaraan pribadi.
Apabila kepemilikan kendaraan pribadi dapat ditekan, ini akan dapat menekan angka kemacetan lalu lintas di jalan raya. Di Jepang kepemilikan kendaraan dibatasi dengan syarat kepemilikan lahan parkir, pajak, dan harga bensin yang mahal. Pajak kendaraan juga akan semakin mahal seiring dengan meningkatnya usia kendaraan.
Sayangnya, kita justru masih kerap mendengar bahwa banyaknya kendaraan di sini tidak sejalan dengan income pajak yang diterima pemerintah. Menurut berita, sekian puluh persen kendaraan di daerah ini menunggak pajak. Bahkan tak seidkit pemilik kendaraan baru membayar pajak katika ada program pemutihan. Sungguh terlalu…! (*/bersambung)